Minggu, 24 Maret 2013

PAKAIAN LAHIRIAH, BATINIAH (KAUM ARIFIN)

Dari Anas bin Malik ra: Rasulullah Saw, bersabda:
 
Islam itu jelas (lahiriah), dan Iman itu ada dalam qalbu, sedangkan Taqwa di sini.”Rasulullah Saw, mengulang sampai tiga kali sambil menunjuk dengan tangannya ke arah dada beliau. Taqwa yang menetap di qalbu, lalu membuat iman menjadi kokoh, adalah ruh ma’rifat itu sendiri.”
 
Saudaraku yang mulia! Sesungguhnya Allah Swt, menjadikan segalanya dengan kepastian, dan setiap kepastian itu ada batasan, dan setiap batasan ada sebabnya, setiap sebab ada waktunya, dan setiap waktu ada ketentuannya, setiap ketentuan ada perintah, setiap perintah ada makna, dan setiap makna ada benarnya, setiap yang benar ada kebenarannya, dan setiap kebenaran ada hakikatnya, setiap hakikat ada ahlinya, dan setiap ahlinya ada tandanya.
 
Dengan tanda itu bisa diketahui siapa yang berbuat benar dan siapa yang berbuat batil. Setiap qalbu didudukkan di hamparan perwujudan ma’rifat, dimana kema’rifatan itu memantul pada wajahnya dan berpengaruh pada gerak gerik lahiriahnya, tindakan dan ucapannya, sebagaimana firman Allah Swt :

“Kamu sekalian mengenal mereka dengan tanda-tanda mereka.”

Rasulullah Saw, bersabda:

“Siapa yang menyembunyikan rahasia jiwa, Allah memakaikan padanya pakaian rahasia jiwa. Jika ia baik, maka menjadi baik. Jika ia buruk, maka jadi buruk.”

Sebaik-baik pekerti: Kaum Sholihin  
Yahya bin Mu’adz ra, ditanya, “Bagaimana pekerti kaum ‘arifin bisa menjadi elok wajahnya, dan lebih kharismatik dibanding yang lain?” “Karena mereka menyendiri bersama Allah penuh dengan kemesraan. Mereka mendekat kepada Allah Swt, menghadap total, dan berangkat kepadaNya penuh kepatuhan. Maka Allah Swt, memberikan pakaian cahaya ma’rifatNya kepada mereka, yang didalamNya mereka bicara, dan bagiNya mereka beramal, dariNya mereka mencari, kepadaNya mereka bersukacita. Merekalah kaum istimewaNya (khawash) yang terdepan. Langkahnya dalam taat kepada Allah Swt, tanpa sedikit pun bergantung pada lainNya, dan mereka menasehati khalayak umum tanpa sedikit pun ada pamrih.

Mereka senantiasa merindu, kembali kepada Allah Swt, qalbunya penuh rasa takut, jiwanya penuh rasa gentar, hati mereka adalah IstanaNya, akal mereka terselubungi, ruh mereka membubung luhur, dan semuanya terlindungi dengan hatinya dari fitnah manusia.
 
Dzikir mereka menjaganya dari was-was buruk, dadanya melapang luas, dan jasadnya terbuang dari khalayak, qalbunya terluka, sedang pintu-pintu alam malakut senantiasa terbuka bagi mereka. Qalbu mereka bagai pelita. Anggota badan mereka tunduk bagai terikat kuat, lisannya sibuk membaca Al-Qur’an, romannya menguning karena ketakutan akan jauh dari Allah Swt, dan jiwanya tercurah bagi khidman pada Ar-Rahman, hatinya terpancarkan cahaya iman, jiwanya sibuk mencari, ruhnya sibuk mendekat Tuhan. Sedang pada ucapannya ada sifat menunjukkan kepada Ketuhanan Allah Swt, pada tiang-tiang dirinya penuh kelanggengan khidmah, dan pada jiwanya ada pengaruh kehambaan, dalam hatinya ada kharisma Fardaniyah, dalam rahasia batinnya ada hasrat membubung ke Uluhiyah, sedang dalam ruhnya ada keterpesonaan pada Wahdaniyah.

Bergantungnya kaum ‘arifin dengan Allah swt.
 
Bibir-bibir mereka senantasa tersenyum kepadaNya. Mata mereka senantiasa memancar kepadaNya. Qalbu-qalbu mereka terus bergelayut kepada Allah Swt, hasrat mereka sinambung kepadaNya, rahasia batin mereka terus menerus memandangNya. Mereka melemparkan dosa-dosa mereka ke samudera taubat, dan mereka menghamburkan kepatuhannya ke samudera anugerah. Mereka buang gerak gerik batinnya ke lautan Keagungan. Dan kehendak mereka terlempar ke lautan sucinya jiwa, bahkan hasrat mereka adalah samudera mahabbah. Di medan khidmah kepadaNya mereka berlalu lalang. Di bawah payung kemuliaan mereka saling merenda keindahan.
 
Dan di taman rahmatNya mereka merambat, lalu mereka mencium aroma anugerah yang wangi. Mereka memandang dunia dengan mata perenungan, memadang akhirat dengan mata penantian, memandang nafsunya dengan mata hina, memandang taatnya dengan mata penuh kekurangan, bukan dengan mata merasa amal.

Mereka memandang ampunan dengan mata kebutuhan, memandang ma’rifat dengan mata kegembiraan, memandang Yang Di ma’rifati Allah Swt, dengan mata kebanggan. Mereka melemparkan nafsunya dalam negeri cobaan, dan melemparkan ruhnya ke negeri akhirat kemudian, qalbu-qalbu mereka menuju keluhuran dan kharisma, lisan mereka sumber puja dan pujian, ruh mereka adalah tempat-tempat rindu dan cinta, sedangkan nafsu mereka dikendalikan oleh akal dan kecerdasan.
 
Hasrat mereka lebih banyak untuk kontemplasi dan tafakkur. Ucapan terbanyak mereka adalah memuja dan memujiNya. Amal mereka adalah taat dan khidmah. Pandangan mereka hanya kelembutan dibalik ciptaan Rabbul Izzah Swt.

Diantara mereka anda lihat pucat menguning wajahnya karena rasa takut pisah denganNya, sendi-sendinya gemetar karena Kharisma KebesaranNya. Begitu panjang mereka menunggu penuh rindu bertemu denganNya. Mereka menempuh Jalan Al-Musthafa. Mereka lempar dunia ke belakang tengkuknya. Mereka rasakan kesenangan nafsu sebagai konsumsi kehampaan. Mereka lebih berteguh pada pijak telapak keserasian yang benar.

Perilaku pecinta pada Tuannya.
 
Perilakunya di dunia selalu asing. Qalbunya di dadanya merasa gersang. Rahasia batinya dalam nafsunya juga terasing. Sang pecinta tak pernah istirahat dari kegundahan keterasingan dan kegentarannya, sepanjang ia belum sampai pada Sang Kekasih. Perkaranya aneh. Sedang Allah Swt adalah penyembuhnya. Ucapannya senantiasa penuh dengan limpahan ekstase, qalbunya menyendiri, akalnya serba Allah Swt (Rabbani), hasratnya serba bergantung padaNya (Shomadani), hidupnya ruhani, amalnya Nuraniyah, dan ucapannya serba langit (samawiyah). Allah Swt, jadikan hatinya tempat rahasiaNya, tempat pandanganNya, lalu diriasnya dengan keelokan hiasan RububiyahNya, dan dimasukkan ke negeri aturan dari kekuasaanNya.

Ia berputar mengitari keagunganNya dengan nurani qalbunya, dan membubung tinggi ke Taman SuciNya, lalu terbang dengan sayap-sayap ma’rifat menuju kemah-kemah rahasiaNya, berjalan ke meda-medan qudratNya, menembus hijab JabarutNya.
 
Seandainya orang bodoh melihatnya, ia mati seketika, setelah mengenalnya ketika itu. Tandanya, bencana dunia baginya adalah madu. Kegelisahan adalah buah ranum indah, ketika di akhirat setiap orang berkata: Oh nasibku…duhai nasibku! Sedangkan ia malah berkata: Rabbi…Rabbi..! Engkaulah hasrat kehendakku…hasrat citaku…!
 
Sang arif punya empat tanda:
 
• Cintanya kepada sang Maha Agung • Meninggalkan apapun yang banyak maupun yang sedikit, • Mengikuti jejak At-Tanzil (Qur’an dan Sunnah) • Ketakutannya jika ia harus berpindah dari Tuhannya. Sang hamba punya bagian. Sang penakut punya rasa ingin lari. Sang pecinta punya asmara. Sang arif punya kegirangan. Wallahualam Bishawab.

Uways al-Qarani - Wali Allah Yang Tersembunyi

"Wali-Wali Allah tidak berkata: 'ikuti saya' tapi berkata: 'Ikuti Allah dan Rasul-Nya!' Siapa yang terbuka hatinya mengikuti mereka. Wali-Wali Allah tersembunyi, bukan fisiknya tapi Maqom Spiritualnya [tersembunyi] dari orang-orang yang buta matahatinya. Banyak yang ingin mendekati Allah tapi menjauhi para wali-Nya. Pemuka para wali adalah para Nabi dan Sahabat Rasulullah Saw. Sultan para wali adalah Nabiyur-Rahmah Muhammad Saw. yang melalui beliau mengalir ilmu-ilmu Hakikat Allah dari "hati spiritual" ke "hati spiritual" para hamba-Nya yang mukhlisin."
- Dikutip dari kata-kata mutiara Wiyoso Hadi -

Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah ra, bahwa Rasulullah SAW (ShollaLlahu 'Alayhi Wassalam) bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Tinggi mencintai di antara makhluk-Nya orang-orang pilihan, (mereka) tersembunyi, taat, rambut mereka acak-acakan, wajah mereka berdebu dan perut mereka kelaparan. Jika meminta izin kepada pemimpin ditolak. Jika melamar wanita cantik tidak diterima. Jika mereka tak hadir tak ada yang kehilangan dan jika hadir tak ada yang merasa bahagia atas kehadirannya. Jika sakit tak ada yang mengunjunginya dan jika mati tak ada yang menyaksikan jenazahnya."

Para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, contohkan pada kami salahsatu dari mereka?" Beliau SAW menjawab: "Itulah 'Uways al-Qarani." Para sahabat bertanya kembali: "Seperti apakah 'Uways al-Qarani?" Beliau SAW menjawab: "Matanya berwarna hitam kebiru-biruan, rambutnya pirang, pundaknya bidang, postur tubuhnya sedang, warna kulitnya mendekati warna tanah (coklat-kemerahan), janggutnya menyentuh dada (karena kepalanya sering tertunduk hingga janggutnya menyentuh dada), pandangannya tertuju pada tempat sujud, selalu meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri, menangisi (kelemahan) dirinya, bajunya compang-camping tak punya baju lain, memakai sarung dan selendang dari bulu domba, tidak dikenal di bumi namun dikenal oleh penduduk langit, jika bersumpah (berdo'a) atas nama Allah pasti akan dikabulkan. Sesungguhnya di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Sesungguhnya kelak di hari kiamat, diserukan pada sekelompok hamba, "Masukklah ke dalam surga!" Dan diserukan
kepada 'Uways, "Berhenti, dan berikanlah syafa'at!" Maka Allah memberikan syafa'at sebanyak kabilah Rabi'ah dan Mudhar."

"Wahai 'Umar, wahai `Ali! Jika kalian berdua menemuinya, mintalah padanya agar memohonkan ampun bagi kalian berdua, niscaya Allah akan mengampuni kalian berdua." Maka mereka berdua mencarinya selama sepuluh tahun tetapi tidak berhasil. Ketika di akhir tahun sebelum wafatnya, 'Umar ra berdiri di gunung Abu Qubais, lalu berseru dengan suara lantang: "Wahai penduduk Yaman, adakah di antara kalian yang bernama 'Uways?"

Bangkitlah seorang tua yang berjenggot panjang, lalu berkata: "Kami tidak tahu 'Uways yang dimaksud. Kemenakanku ada yang bernama 'Uways, tetapi ia jarang disebut-sebut, sedikit harta, dan seorang yang paling hina untuk kami ajukan ke hadapanmu. Sesungguhnya ia hanyalah penggembala unta-unta kami, dan orang yang sangat rendah (kedudukan sosialnya) di antara kami. Demi Allah tak ada orang yang lebih bodoh, lebih gila (lebih aneh/nyentrik), dan lebih miskin daripada dia."

Maka, menangislah 'Umar ra, lalu beliau berkata: "Hal itu (kemiskinan & kebodohan spiritual) ada padamu, bukan padanya. Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Kelak akan masuk surga melalui syafa'atnya sebanyak kabilah Rabi`ah dan Mudhar." Maka 'Umar pun memalingkan pandangan matanya seakan-akan tidak membutuhkannya, dan berkata: Dimanakah kemenakanmu itu!? Apakah ia ada di tanah haram ini?" "Ya," jawabnya. Beliau bertanya: "Dimanakah tempatnya?" Ia menjawab: "Di bukit 'Arafat." Kemudian berangkatlah 'Umar dan 'Ali ra dengan cepat menuju bukit 'Arafat. Sampai di sana, mereka mendapatkannya dalam keadaan sedang shalat di dekat pohon dan unta yang digembalakannya di sekitarnya. Mereka mendekatinya, dan berkata: "Assalamu'alayka wa rahmatullah wa barakatuh." 'Uways mempercepat shalatnya dan menjawab salam mereka.

Mereka berdua bertanya: "Siapa engkau?" Ia menjawab: "Penggembala unta dan buruh suatu kaum." Mereka berdua berkata: "Kami tidak bertanya kepadamu tentang gembala dan buruh, tetapi siapakah namamu?" Ia menjawab: " `Abdullah (hamba Allah)." Mereka berdua berkata: "Kami sudah tahu bahwa seluruh penduduk langit dan bumi adalah hamba Allah, tetapi siapakah nama yang diberikan oleh ibumu?" Ia menjawab: "Wahai kalian berdua, apakah yang kalian inginkan dariku?"

Mereka berdua menjawab: "Nabi SAW menyifatkan kepada kami seseorang yang bernama 'Uways al-Qarani. Kami sudah mengetahui akan rambut yang pirang dan mata yang berwarna hitam kebiru-biruan. Beliau SAW memberitahukan kepada kami bahwa di bawah pundak kirinya terdapat belang putih. Tunjukkanlah pada kami, kalau itu memang ada padamu, maka kaulah orangnya. Maka ia menunjukkan kepada mereka berdua pundaknya yang ternyata terdapat belang putih itu. Mereka berdua melihatnya seraya berkata: "Kami bersaksi bahwasannya engkau adalah 'Uways al-Qarani, mintakanlah ampunan untuk kami, semoga Allah mengampunimu."

Ia menjawab: "Aku merasa tidak pantas untuk memohon ampun untuk anak cucu Adam ('alayhis-salam), tetapi di daratan dan lautan (di kapal yang sedang berlayar) ada segolongan laki-laki maupun wanita mu'min (beriman) dan muslim yang doanya diterima." 'Umar dan 'Ali ra berkata: "Sudah pasti kamu yang paling pantas."

'Uways berkata: "Wahai kalian berdua, Allah telah membuka (rahasia spiritual) dan memberitahukan keadaaan (kedudukan spiritual)ku kepada kalian berdua, siapakah kalian berdua?" Berkatalah `Ali ra: "Ini adalah 'Umar 'Amir al-Mu'minin, sedangkan aku adalah `Ali bin Abi Thalib." Lalu 'Uways bangkit dan berkata: "Kesejahteraan, rahmat dan keberkahan Allah bagimu wahai 'Amir al-Mu'minin, dan kepadamu pula wahai putra 'Abi Thalib, semoga Allah membalas jasa kalian berdua atas umat ini dengan kebaikan." Lalu keduanya berkata: "Begitu juga engkau, semoga Allah membalas jasamu dengan kebaikan atas dirimu."

Lalu 'Umar ra berkata kepadanya: "Tetaplah di tempatmu hingga aku kembali dari kota Madina dan aku akan membawakan untukmu bekal dari pemberianku dan penutup tubuh dari pakaianku. Di sini tempat aku akan bertemu kembali denganmu."

Ia berkata: "Tidak ada lagi pertemuan antara aku denganmu wahai 'Amir al-Mu'minin. Aku tidak akan melihatmu setelah hari ini. Katakan apa yang harus aku perbuat dengan bekal dan baju darimu (jika engkau berikan kepadaku)? Bukankah kau melihat saya (sudah cukup) memakai dua lembar pakaian terbuat dari kulit domba? Kapan kau melihatku merusakkannya! Bukankah kau mengetahui bahwa aku mendapatkan bayaran sebanyak empat dirham dari hasil gembalaku? Kapankah kau melihatku menghabiskannya? Wahai 'Amir al-Mu'minin, sesungguhnya dihadapanku dan dihadapanmu terdapat bukit terjal dan tidak ada yang bisa melewatinya kecuali setiap (pemilik) hati (bersih-tulus) yang memiliki rasa takut dan tawakal (hanya kepada Allah), maka takutlah (hanya kepada Allah) semoga Allah merahmatimu."

Ketika 'Umar ra mendengar semua itu, ia menghentakkan cambuknya di atas tanah. Kemudian ia menyeru dengan suara lantang: "Andai 'Umar tak dilahirkan oleh ibunya! Andai ibuku mandul tak dapat hamil! Wahai siapa yang ingin mengambil tampuk kekhilafahan ini?" Kemudian 'Uways berkata: "Wahai 'Amir al-Mu'minin, ambillah arahmu lewat sini, hingga aku bisa mengambil arah yang lain." Maka 'Umar ra berjalan ke arah Madina, sedangkan 'Uways menggiring unta-untanya dan mengembalikan kepada kaumnya. Lalu ia meninggalkan pekerjaan sebagai penggembala dan pergi ke Kufah dimana ia mengisi hidupnya dengan amal-ibadah hingga kembali menemui Allah.

Directions:
Sumber:
"The Children around the Table of Allah" by Shaykh Muhammad Sa'id al-Jamal ar-Rifa'i